News  

๐— ๐—ฒ๐—ป๐—ฒ๐—น๐˜‚๐˜€๐˜‚๐—ฟ๐—ถ ๐—”๐—ธ๐—ฎ๐—ฟ ๐—ž๐—ถ๐˜€๐—ฟ๐˜‚๐—ต ๐—ฃ๐—ฃ๐—ฃ๐—ž ๐—ฃ๐—ฎ๐—ฟ๐˜‚๐—ต ๐—ช๐—ฎ๐—ธ๐˜๐˜‚: ๐—ฃ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฎ๐—ป ๐—ฆ๐˜๐—ฟ๐—ฎ๐˜๐—ฒ๐—ด๐—ถ๐˜€ ๐—ข๐—ฃ๐—— ๐—ฑ๐—ฎ๐—น๐—ฎ๐—บ ๐—ฃ๐—ฒ๐—ป๐—ด๐˜‚๐˜€๐˜‚๐—น๐—ฎ๐—ป ๐˜†๐—ฎ๐—ป๐—ด ๐—–๐—ฎ๐—ฐ๐—ฎ๐˜ ๐—›๐˜‚๐—ธ๐˜‚๐—บ ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—”๐—ฑ๐—บ๐—ถ๐—ป๐—ถ๐˜€๐˜๐—ฟ๐—ฎ๐˜€๐—ถ

banner 120x600

Oleh: Ex_Napi

Pengumuman hasil seleksi PPPK Paruh Waktu di Kabupaten Konawe Utara telah memantik gejolak sosial dan kekecewaan publik. Protes massal bermunculan setelah terungkapnya fakta bahwa banyak tenaga honorer dengan masa pengabdian panjang dan nilai tinggi justru tidak diloloskan, sementara individu dengan nilai rendahโ€”bahkan yang tidak mengikuti tahapan resmiโ€”malah muncul sebagai nama yang lulus.

Fenomena ini telah mencederai rasa keadilan dan integritas sistem rekrutmen kepegawaian.
Penting untuk meluruskan arah kritik publik agar tidak salah sasaran. Akar persoalan ini tidak serta-merta berada di tangan Bupati, melainkan pada mekanisme pengusulan yang dilakukan oleh masing-masing Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Analisis mendalam menunjukkan adanya penyimpangan prosedural yang sistematis di level teknis.

Sesuai dengan regulasi yang berlaku, proses rekrutmen PPPK Paruh Waktu haruslah melalui jalur resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan dasar Keputusan Menteri PANRB No. 16 Tahun 2025 dan SE Kepala BKN No. 6 Tahun 2025. Namun, pengusulan nama tetap bermula dari data yang diinput dan diverifikasi oleh OPD masing-masing. Ini adalah celah krusial yang dimanfaatkan, di mana kelalaian atau manipulasi di tahap OPD akan langsung memengaruhi hasil akhir.

Kisruh ini diperparah dengan situasi pasca-Pilkada, di mana hingga kini belum dilakukan rotasi dan pemutakhiran pejabat eselon II. Akibatnya, sejumlah Kepala OPD lama yang masih menjabat membawa serta loyalitas dan sikap politik masing-masing. Di sinilah muncul pandangan publik bahwa “syarat politis ada di OPD masing-masing,” yang kemudian menimbulkan distorsi serius dalam pengusulan calon PPPK Paruh Waktu.

Dalam kerangka hukum administrasi, setiap OPD memiliki tanggung jawab melekat terhadap akurasi data, kelengkapan berkas, dan kebenaran pengusulan. Jika terdapat nama honorer yang tidak mengikuti tahapan resmi namun tetap diusulkan, maka OPD terkait dapat dikategorikan melakukan maladministrasi atau bahkan penyalahgunaan wewenang administratif. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan pelanggaran terhadap prinsip dasar tata kelola birokrasi.

Hal ini juga berimplikasi langsung pada asas merit system yang menjadi dasar manajemen ASN. Pasal 3 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN secara tegas mengatur bahwa setiap pengangkatan ASN harus berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kebutuhan instansi. Apabila kriteria fundamental ini diabaikan oleh OPD, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib ribuan honorer, tetapi juga legitimasi dan kredibilitas birokrasi itu sendiri.

Lebih jauh, praktik diskriminasi dalam bentuk โ€œpenghapusan nama honorer kritisโ€ atau โ€œpenambahan nama titipanโ€ adalah bentuk penyimpangan serius yang berpotensi menyalahi prinsip good governance. Jika praktik koruptif ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola kepegawaian di daerah dan menghancurkan semangat profesionalisme.

Implikasi hukum dari kelalaian ini tidak bisa dianggap ringan. Secara administratif, kelalaian OPD dapat dilaporkan ke Ombudsman RI sebagai dugaan maladministrasi. Apabila ditemukan bukti adanya praktik transaksional, kasus ini dapat ditingkatkan ke ranah pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang sesuai ketentuan perundang-undangan.

Karena itu, sorotan publik seharusnya diarahkan secara tajam dan terukur pada OPD yang lalai dalam mengusulkan dan memverifikasi data. Bupati sebagai kepala daerah justru membutuhkan informasi yang objektif dan akurat dari bawahannya. Tanpa itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan akan selalu berpotensi dipelintir oleh kepentingan di level teknis.

Kami mengingatkan seluruh Kepala OPD bahwa tanggung jawab mereka bukan hanya administratif, tetapi juga moral. Pengusulan calon PPPK Paruh Waktu adalah soal masa depan ribuan honorer dan keluarga mereka, bukan sekadar formalitas birokrasi. Integritas pejabat OPD akan tercermin dari sejauh mana mereka menjaga keadilan dan profesionalisme dalam proses ini.

Untuk itu, langkah perbaikan yang harus segera dilakukan antara lain: (1) audit internal menyeluruh terhadap seluruh proses usulan PPPK Paruh Waktu di setiap OPD, (2) transparansi publik mengenai nilai dan kategori peserta (R2, R3, R4) untuk menjamin akuntabilitas, serta (3) evaluasi ulang data yang dinilai cacat administrasi berdasarkan temuan di lapangan.

Kami mendesak Sekda sebagai koordinator OPD agar segera mengambil langkah cepat untuk memanggil dan mengevaluasi Kepala OPD yang bertanggung jawab atas pengusulan cacat prosedur. Tindakan tegas ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan menunjukkan komitmen pemerintah daerah terhadap good governance.

Keadilan bagi honorer adalah fondasi moral birokrasi. Dengan demikian, kami menyerukan agar publik tetap tenang, tidak terburu-buru menyalahkan Bupati, dan bersama-sama mengawal agar Kepala OPD bertanggung jawab atas kelalaian mereka.

Perjuangan honorer akan menjadi lebih kuat, terarah, dan tidak mudah dipelintir oleh kepentingan politik sesaat jika kita berfokus pada akar masalah yang sebenarnya. Langkah apa yang akan diambil oleh OPD dan Sekretaris Daerah untuk menjawab tuntutan keadilan ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *